DEMENSIA ALZHEIMER MERUPAKAN GANGGUAN KOGNISI

            Mudah lupa bisa saja gejala alamiah seiring bertambahnya usia. Tapi, bisa jadi itu juga merupakan gejala awal serangan penyakit Alzheimer. Penyakit Alzheimer yang menyebabkan gejala demensia atau pikun, dulu sukar dikenali pada tahap awalnya sehingga diagnosisnya selalu terlambat dibuat dan akibatnya terlambat pula penanganannya. Penyakit Alzheimer yang disebabkan oleh proses degeneratif otak merupakan salah satu batu sandungan dalam perjalanan hidup para lanjut usia di samping kanker, stroke, dan penyakit jantung.


Demensia Alzheimer

           Istilah demensia itu berasal dari bahasa asing emence yang pertama kali dipakai oleh Pinel (1745-1826). Jabaran demensia sekarang adalah kehilangan kemampuan kognisi yang sedemikian berat hingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan. Alzheimer sendiri adalah gangguan intelektual dan kemampuan kognitif yang progesif sehingga dapat mengganggu kinerja penderitanya. Gejala penyakit ini muncul karena adanya proses degeneratif sehingga sel-sel otak pada kulit otak (korteks serebral) menjadi mati, matinya sel-sel otak itu baru menimbulkan gejala-gejala klinis dalam waktu 30 tahun.
Beberapa tahun terakhir ini timbul sebuah konsep baru tentang diagnosis sangat awal penyakit Alzheimer yaitu Kelemahan Kognisi Ringan (KKR) – Mild Cognitive Impairment (MCI). KKR yang merupakan gangguan untuk mengenal dan menafsirkan lingkungan dan terjadi pada warga usia setengah baya dan lanjut yang tentunya akan mempengaruhi kualitas hidup mereka. Mengenai kepikunan atau kelemahan kognisi yang berat (medis: demensia) kini menjadi pusat perhatian para pakar gerontology (ilmu usia lanjut) dalam 5 tahun terakhir ini karena konsep kepikunan terkini sudah berubah. 

Perkembangan menjadi pikun terutama Penyakit Alzheimer, berlangsung secara bertingkat melalui tahapan tertentu. Tahap awal dimulai dari gejala mudah lupa, cepat lupa (medis: forgetfulness) yang banyak dijumpai pada lanjut usia (28-38 persen dari populasi lanjut usia, Hanninen, 1986). Penyandang demensia selain mengalami kelemahan kognisi secara bertahap, juga akan mengalami kemunduran aktivitas hidup sehari-hari (activity of daily living / ADL). Inipun terjadi secara bertahap dan dapat diamati. Awalnya, kemunduran aktivitas hidup sehari-hari ini berwujud sebagai ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas hidup yang kompleks (complex activity of daily living) seperti tidak mampu mengatur keuangan, melakukan korespondensi, bepergian dengan kendaraan umum, melakukan hobi, memasak, menata boga, mengatur obat-obatan, menggunakan telepon, dan sebagainya. Lambat laun penyandang tersebut tidak mampu melakukan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic activity of daily living) berupa ketidakmampuan untuk berpakaian, menyisir, mandi, toileting, makan, dan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic ADL).

Sejak akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an para pakar gerontology (ilmu usia lanjut) dan geriatric (ilmu penyakit usia lanjut) mengamati bahwa warga lanjut usia yang mudah lupa (forgetful) yang masih wajar-wajar saja (benign senescent forgetfulness) ternyata sebagian dapat berkembang lanjut menjadi mudah lupa yang tidak wajar lagi, malignant senescent forgetfulness dan sebagian lagi dari yang terakhir ini dapat berkembang lanjut lagi menjadi kondisi demensia.

Secara bersinambung para pakar menemukan dan menjabarkan beberapa kondisi yang awalnya disebut sebagai Age-Associated Memory Impairment (AAMI) tahun 1986, selanjutnya berkembang pesat dan akhirnya Cognitively Impaired Not Demented (CIND), 1995. Dinamakan sebagai tahap perantara (in-between group). Ternyata bahwa seseorang yang mengalami demensia pada tahap akhir penyakitnya, baik itu akibat stroke ataupun penyakit Alzheimer, dalam proses perkembangannya menunjukkan sebuah tahap yang disebut sebagai kelemahan kognisi tanpa demensia-cognitively impaired not demented (CIND). Kelompok lanjut usia yang berada dalam tahap ini disebut sebagai in between group atau kelompok perantara yang berada antara warga lanjut usia yang normal dan yang demensia. Kelompok perantara ini merupakan warning atau peringatan adanya kemungkinan akan berkembang lanjut menjadi demensia.

Memory
      Ada tiga tahap dalam memori, yang pertama adalah tahap penyandian(memasukkan ke dalam memori), kedua adalah tahap penyimpanan(mempertahankan dalam memori), dan yang ketiga adalah tahap pengambilan(pengambilan dari memori). Teori memori menyatakan lupa sebagai kegagalan pada satu atau lebih stadium tersebut (Melton,1963).

Biasanya pada penderita demensia, yang sering dilupakan adalah short term memory (memori jangka pendek) dari si penderita. Fakta yang paling jelas tentang memori jangka pendek adalah kapasitasnya yang sangat terbatas. Rata-rata batasnya adalah tujuh butir, lebih atau kurang dua. Kekonstanan ini telah diketahui sejak awal psikologi eksperimental. Hermann Ebbinghaus, yang memulai penelitian eksperimental tentang memori pada tahun 1885, melaporkan hasil yang membuktikan bahwa batas yang dimiliki dirinya sendiri adalah tujuh butir. Sekitar 70 tahun kemudian, George Miller (1956) juga terkejut oleh kekonstanan ini yang dinamakannya “angka tujuh yang ajaib”. Belum lama ini, batas ini juga ditemukan pada kultur yang bukan Barat (Yu dkk, 1985).

Kita mungkin mampu mengingat tujuh butir secara singkat, tetapi pada sebagian kasus mereka segera dilupakan. Lupa terjadi karena butir-butir itu tergeser (displaced) oleh butir yang baru atau karena mengalami peluruhan (decay) dengan berjalannya waktu. Karena kapasitas terbatas memori jangka pendek, slot tujuh kurang lebih dua, penambahan butir baru dapat menyebabkan pergeseran atau hilangnya butir lama.

Informasi mungkin berada di memori jangka pendek sementara ia sedang disandikan menjadi memori jangka panjang. Salah satu teori yang membahas transfer dari memori jangka pendek menjadi memori jangka panjang dinamakan dual-memory model. Model ini dikembangkan sejak lama (Atkinson&Shiffrin,1968,1971), dan variasi model ini terus digunakan untuk mengorganisasi dan mengarahkan riset (Raaijmakers,1992).

Penutup
                Sering dijumpai pada penderita demensia bahwa mereka lebih dapat mengingat long-term memory (memori jangka panjang) daripada jangka pendeknya, hal tersebut terjadi mungkin karena kemampuan kognisi yang menurun sesuai bertambahnya usia sesuai yang dijelaskan di atas tadi, tapi mereka dapat menceritakan memori jangka panjangnya dengan jelas mungkin karena mood atau perasaan yang tertinggal pada saat itu terkesan mendalam, karena sebenarnya mood juga mempengaruhi ingatan seseorang.

Untuk mencegah datangnya Alzheimer, sebuah studi yang dimuat dalam The Journal of American Medical Association mengungkapkan, antioksidan yang banyak terdapat pada bahan makanan yang memiliki kandungan vitamin E dan vitamin C yang tinggi ternyata dapat menghambat datangnya kepikunan pada usia senja. Bahkan menurut studi yang dilakukan oleh Marianne J. Engelbert.MD.,M.Sc. dari Erasmus Medical Center, Rotterdam, Belanda, vitamin E dan vitamin C yang ada pada buah dan sayuran segar terbukti mampu melawan gejala Alzheimer.

Penelitian yang dilakukan Dr. Richard Harvey dari Alzheimer’s Society Researchers University of Alabama, Birmingham, Inggris, malah mengungkapkan lebih spesifik. Menurut penelitiannya, kacang kedelai dalam berbagai olahannya juga terbukti berkhasiat menangkal penyakit Alzheimer, terutama bagi kaum wanita. Karena, kacang kedelai mengandung fitoestrogen yang dapat mereduksi sejumlah perubahan protein di otak, yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Selama ini, kacang kedelai memang sudah terbukti ampuh untuk menangkal gangguan jantung dan serangan kanker.        



DAFTAR PUSTAKA


Atkinson, Rita L., dkk. Pengantar Psikologi, Edisi Kesebelas, Jilid 1. Batam: Interaksara.
http://kompas.com/kompas-cetak/0306/17/ilpeng/368166.htm
Lisa Citra Wanita Aktif. No.35/IV.30 Agustus-5 September 2003. Hal 22-23.
Matlin, Margaret W. 1994. Cognition, Third Edition. USA: Harcourt Brace College Publishers.  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Forum Chat